Selasa, 03 Oktober 2017

Perjalananku


Satu hari di Museum Sejarah Jakarta


      Kisah ini adalah kilas balik mengenai perjalanan saya sewaktu di Jakarta, ketika mengunjungi Museum Fatahillah pada bulan Juli 2017 lalu. Museum ini memiliki nama resmi Museum Sejarah Jakarta. Awalnya bangunan ini merupakan sebuah Balai Kota Batavia. Luas bangunannya lebih dari 1300 meter persegi. Lokasinya terletak di Kawasan Kota Tua di Kecamatan Tamansari Jakarta Barat.
      Kota Tua merupakan sebuah kawasan kuno, banyak mempunyai tempat-tempat wisata sejarah yang sangat menarik yang harus dikunjungi bila Anda ke Jakarta. Tempat menarik itu antara lain, Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri, Kantor Pos, Monumen Nasional, Museum Wayang, Museum Keramik, dan masih banyak lagi.
      Saat ini kondisi museum sudah lumayan bersih dan terawat, setelah dilakukan renovasi besar-besaran yang selesai pada bulan Januari 2015 lalu. Harga tiket masuk murah saja, hanya lima ribu rupiah untuk orang dewasa dan tiga ribu rupiah untuk anak-anak.





      Hal pertama yang saya lihat adalah sebuah lukisan Kota Jakarta tempo dulu yang terpajang di dinding dekat pintu masuk. Saya sangat takjub melihat lukisan itu. Sesaat saya seolah terseret dan masuk ke dalamnya, dan menyaksikan langsung keadaan Jakarta atau Batavia pada masa penjajahan Belanda dulu. Setelah berlama-lama memandangi lukisan itu, kemudian saya naik ke lantai dua melalui anak tangga yang terbuat dari kayu yang kokoh.




      Sampai di atas, saya langsung memasuki ruangan bergaya kolonial yang luas dengan atap tinggi, lantai kayu, dan bingkai-bingkai jendela yang lebar. Dari jendela, kami bisa melihat keramaian di halaman. Para pengunjung berlalu lalang mengendarai sepeda ontel warna-warni lengkap dengan topi lebar, membuat suasana cukup meriah walaupun cuaca sedang panas.



      Sedangkan di dalam gedung, pengunjung tidak terlalu ramai, jadi saya bisa leluasa menjelajahi setiap sudut ruangan. Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah sebuah lukisan ukuran 2.70 X 2.06 M yang tergantung di dinding. Menurut plakat yang ada di bawahnya, sosok yang memakai pakaian mewah bergaya abad ke-18 yang tampak berpengaruh itu adalah Gubernur Jenderal VOC Hindia Belanda yang bernama P.A Van der Parra. Di bawah tangan kirinya dekat gorden, ada sebuah meja kecil dengan dokumen, sedangkan di tangan kanannya ia memegang sebuah tongkat. Mungkin tongkat itu merupakan simbol dari jabatannya. Di belakangnya, di balik jendela, tampak pemandangan bangunan-bangunan yang dikelilingi laut. Bisa jadi itu adalah Kota Batavia. Lukisan itu dilukis antara tahun 1761-1775 oleh seorang pelukis yang tidak diketahui namanya.




      Setelah puas mengamati lukisan itu, pandangan saya beralih pada sebuah meja bulat dan meja panjang, lengkap dengan kursinya yang terlihat antik, yang terdapat di ruang pengadilan. Konon katanya, meja-meja itu dulu digunakan oleh para anggota Dewan Keadilan untuk sidang dan merembukkan keputusan hukum bagi para tahanan. Di meja-meja itulah, nasib para tahanan dipertaruhkan. Terdapat peringatan bagi para pengunjung untuk tidak meletakkan barang apa pun dan memegangnya. Membaca peringatan tersebut membuat saya tidak berani mengulurkan tangan, padahal rasanya ingin sekali meraba dan merasakan benda yang sangat bersejarah itu.




      Selain meja panjang, ada beberapa lemari antik lain yang diletakkan di sudut-sudut ruangan.     Lemari tersebut memiliki pola yang rumit, dengan laci-laci kecil tempat penyimpanan, dan mempunyai laci rahasia yang letaknya sangat tersembunyi. Tetapi dari semua benda antik itu, ada satu yang tak kalah menarik, yaitu sebuah lemari arsip yang ukurannya sangat besar. Lemari itu adalah lemari yang digunakan untuk menyimpan arsip-arsip penting pada zaman dulu. Ukiran kayunya disepuh dengan emas. Polanya sangat rumit, dan saya tidak mengerti filosofi dari ukiran tersebut. Tinggi lemari arsip itu 289 cm dan lebarnya 232 cm. Woow, luar biasa bukan?




      Setelah puas melihat berbagai koleksi mebel antik di lantai atas, saya turun melalui tangga kayu tadi dan berbelok ke sebelah kanan menuju penjara bawah tanah. Penjara itu usianyasekitar tiga ratus tahun, berfungsi sebagai tempat penampungan bagi para penjahat, tahanan, dan tokoh-tokoh yang memberontak terhadap pemerintah Belanda saat itu.





      Penjara itu sangat kecil, sempit, dan memiliki langit-langit yang pendek. Tinggi langit-langitnya hanya 160 cm dan luasnya 20 meter persegi. Di dalam penjara itu saya melihat tumpukan batu bulat besar dengan rantai besi yang kuat. Awalnya saya mengira kalau tumpukan batu tersebut hanya batu biasa, tetapi begitu saya perhatikan lagi, ternyata batu itu ditanami oleh rantai besi yang tebal dan kuat. Seketika saya paham, kalau itu adalah batu untuk mengganduli kaki para tawanan agar tidak dapat melarikan diri. 


     


       Dindingnya terasa dingin dan lembab. Bau apek bahkan pesing memenuhi indera penciuman. Langit-langitnya tidak datar, tetapi miring di bagian dalam. Untuk saya yang memiliki tinggi 156 cm, ruangan bagian dalam tidak bisa membuat saya berdiri tegak, jadi harus membungkuk. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan para tahanan yang berdesakan di dalamnya. Jendelanya memiliki teralis yang sangat kokoh dan berlapis. Saya bergidik ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, jadi saya cepat-cepat keluar sebelum para 'penunggu' penjara itu menampakkan diri.
      Karena hari semakin siang, saya pun berencana untuk istirahat sejenak di bawah pohon. Tapi sebuah patung yang terletak di dekat tangga tempat kami turun tadi menarik perhatian saya, sehingga saya pun berjalan mendekatinya. Ternyata itu adalah patung Hermes, yaitu patung mitologi Dewa Yunani yang dipercaya oleh para pedagang sebagai Dewa Keberuntungan. Ini merupakan kali pertama saya melihat penampakan Hermes. Selama ini yang saya tahu, Hermes adalah merk sebuah tas terkenal, jadi patung itu cukup mengesankan bagi saya. 



    
     Kemudian saya berkeliling lagi dan menyempatkan diri berfoto bersama manusia patung yang berpakaian ala-ala para tokoh pahlawan Indonesia seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Ada juga yang bergaya prajurit dan noni-noni Belanda. Dilihat sepintas, mereka tampak seperti patung sungguhan. Mereka benar-benar tidak bergerak sampai pengunjung mendekat dan ingin berfoto. Mereka juga akan melakukan pose apa saja sampai pengunjung puas dan meletakkan sejumlah uang di tempat yang sudah disediakan.




      Setelah puas menjelajah, saya pun makan siang di salah satu cafe yang banyak bertebaran di sekitar museum. Cafe-cafe itu menawarkan suasana sejarah yang kental pada dekorasinya. Menunya sangat Indonesia, tapi sayang porsinya kurang banyak untuk perut yang kelaparan. 
      Sebelum pulang, saya menatap kembali bangunan museum itu dengan perasaan yang semakin dalam akan kecintaan dan rasa hormat kepada para pahlawan dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda. Saya sangat mendukung Presiden Joko Widodo untuk melestarikan peninggalan bersejarah dari para leluhur dengan cara memugar kembali dan merawatnya, serta menjadikannya sebagai objek wisata, sehingga masyarakat dapat menghargai sejarah. Seperti kata pepatah, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai masa lalu.
      Demikian sekelumit kisah perjalanan saya saat napak tilas menjelajahi Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah. Nantikan cerita saya pada perjalanan ke tempat-tempat menarik lainnya. Salam traveler.


(By. SP)


https//Perjalanansangpenakluk.blogspot.co.idhttps//Perjalanansangpenakluk.com